Sabtu, 16 April 2011

PENDIDIKAN HOLISTIK BERBASIS KARAKTER UNTUK ANAK TK-SD
Indonesia saat ini sedang menghadapi dua tantangan besar, yaitu desentralisasi atau otonomi daerah yang saat ini sudah dimulai, dan era globalisasi total yang akan terjadi pada tahun 2020. Kedua tantangan tersebut merupakan ujian berat yang harus dilalui dan dipersiapkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Kunci sukses dalam menghadapi tantangan berat itu terletak pada kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang handal dan berbudaya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM sejak dini merupakan hal penting yang harus dipikirkan secara sungguh-sungguh.Salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas SDM Indonesia adalah dengan memperbaiki kurikulum pendidikan dan metode pengajaran di kelas.Kurikulum Berbasis Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalahkurikulum yang mempunyai konsep berbeda yang disesuaikan dengan tuntutan jaman dalam menyongsong globalisasi abad ke-21, sehingga diharapkan dapat memperbaiki kualitas belajar dan mengajar di kelas, serta menghasilkan

kualitas SDM yang handal. Namun yang menjadi masalah adalah para guru di sekolah belum siap untuk mengalirkan KTSP di kelas,yang memang memerlukan pengetahuan dan keterampilan tentang metode-metode pengajaran yang berbeda dengan sistem lama.Indonesia Heritage Foundation (IHF) telah mengembangkan sebuah model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter yang memfokuskan pada pembentukan seluruh aspek dimensi manusia, sehingga dapat menjadi
manusia yang berkarakter. Kurikulum Holistik Berbasis Karakter ini disusun berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan diterapkan dengan menggunakan pendekatan Student Active Learning, Integrated Learning, Developmentally Appropriate Practices, Contextual Learning, Collaborative Learning, dan Multiple Intelligences yang semuanya dapat menciptakan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan, serta dapat
mengembangkan seluruh aspek dimensi manusia secara holistik. Model pendidikan holistik berbasis karakter ini telah dipakai oleh Departemen Pendidikan Nasional dalam proyek pengembangan “Model Penyelenggaraan BBE (Pendidikan Berorientasi Keterampilan Hidup)
Melalui Pembelajaran Terpadu di TK dan SD Kelas Rendah” (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Taman

Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, 2002), “Model Pembelajaran Tematis: Kelas Layanan Khusus di SD” (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar,2003), “Model Pembelajaran “Aku Cinta Indonesia” (Departemen Perindustrian dan Perdagangan bekerja sama dengan Depdiknas, 2003) dan
TOT Tingkat Nasional “Model Pembelajaran Kecakapan Hidup Berbasis Karakter Bagi Instruktur/Pemandu Tingkat Propinsi, 2004”.Model ini memfokuskan pada pembentukan karakter siswa karena karakter bangsa merupakan aspek penting yang menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter bangsa sangat tergantung pada kualitas karakter sumberdaya
manusianya (SDM). Karenanya karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Erikson, 1968).
Thomas Lickona - seorang profesor pendidikan dari Cortland University - mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah : (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2)
penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas. (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa
tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda jaman tersebut sudah ada di Indonesia. Selain sepuluh tanda-tanda jaman tersebut, masalah lain yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”).

Padahal, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.
Pada dasarnya, anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk
sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik di usiaprasekolah merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang
dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur,bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan.
Menurut Berkowitz (1998), kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar (cognition) menghargai pentingnya nilai-nilai karakter (valuing). Misalnya seseorang yang terbiasa berkata jujur karena takut mendapatkan hukuman,
maka bisa saja orang ini tidak mengerti tingginya nilai moral dari kejujuran itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan karakter memerlukan juga aspek emosi. Menurut Lickona (1991), komponen ini adalah disebut “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat baik.
MODEL PENDIDIKAN HOLISTIK
IHF menyediakan materi siap pakai untuk membantu para pendidik dalam melaksanakan KTSP melalui penerapan model Pendidikan Holistik berbasis karakter di sekolahnya (mulai dari TK sampai SD Kelas 6). Model ini memfokuskan pada pembentukan 9 pilar karakter kepada para siswa yang dilakukan secara eksplisit, dan berkesinambungan. Selain itu, pendidikan
karakter bukanlah sesuatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, akan tetapi berkaitan dengan seluruh aktivitas kehidupan. Karenanya program pendidikan 9 Pilar Karakter dapat diintegrasikan ke dalam seluruh mata pelajaran akademis (mulai dari TK sampai Sekolah Dasar, kelas 1-6).
Program yang menyeluruh ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara hati,otak dan otot (Pendidikan Holistik). Diharapkan mereka akan menjadi anak-anak yang berfikir kreatif, bertanggung jawab dan memiliki pribadi yang mandiri (manusia holistik).
Penerapan Konsep Pendidikan Holistik Berbasis Karakter • Metode Pendidikan 9 Pilar arakter
Setiap tema Pilar Karakter diatur untuk dapat diterapkan selama 2 sampai 3 minggu. Masing-masing tema Pilar terdiri dari berbagai macam contoh kegiatan praktis bagi para pendidik yang terfokus pada metode: knowing the good, feeling and loving the good and acting the good.
9 Pilar Karakter tersebut adalah:
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya (love Allah, trust, reverence,loyalty)
2. Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian (responsibility,excellence, self

reilance,discipline,orderlince )

3. Kejujuran/Amanah dan Arif (trustworthines, honesty, and tactful)
4. Hormat dan Santun (respect, courtesy, obedience)
5. Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama (love,
compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)
6. Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras (confidence, assertiveness,
creativity, resourcefulness, courage, determination, enthusiasm)
7. Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
8. Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
9. Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness,
unity)
Disamping 9 Pilar karakter di atas, IHF juga mengembangkan materi untuk mengajarkan kebersihan, kesehatan, kerapian dan keamanan pada anak.Metode yang digunakan disebut sebagai “Refleksi Rutin” atau Apperception. Setiap pagi anak-anak diminta untuk mengikuti kegiatan refleksi Pilar selama 15-20 menit sesuai dengan Pilar yang sedang diterapkan saat itu. Pemberian waktu khusus untuk refleksi memberikan
kesempatan pada anak untuk mengekspresikan secara verbal pengetahuannya,
ecintaannya dan bagaimana seharusnya mereka bertindak sesuai pilar.
Kurikulum Holistik Berbasis Karakter (Implementasi KTSP)
Kurikulum Holistik Berbasis 9 Pilar Karakter akan membantu seluruh
pendidik dalam menerapkan pedidikan karakter sepanjang tahun ajaran,
yang diintegrasikan dalam seluruh disiplin ilmu. Masing-masing aspek
dari kurikulum diterapkan dengan menggunakan pendekatan Student
Active Learning, Developmentally Appropriate Practices, Integrated
Learning, Contextual Learning, Collaborative Learning, dan Multiple
Intelligences, yang dapat menciptakan pengalaman belajar yang efektif
dan menyenangkan.
HOLISTIK
I. PENDAHULUAN
Pola konservativisme selalu menjadi hantu dalam ranah apapun dan dalam ruang lingkup pembicaraan apapun. Konservatifisme memandang bahwa apa yang telah ada adalah selalu yang terbaik dari yang baru. Hal tersebut terjadi di segala bidang. Termasuk dalam bidang pendidikan utamanya pemikiran tentang pola pembelajaran di sekolah. Kita kadang-kadang telah mengedepankan ego dibanding menerima suatu perubahan yang kreatif dan knstruktif. Permasalahan tersebut bukannya tidak kita sadari akan tetapi karna kita belum berhasil keluar dari konteks ego itu sendiri.
Sebagai manusia sekiranya semua sependapat bahwa kita sebagai guru selalu kesulitan berfikir kreatif dan keluar dari konteks ego tersebut sehingga memerlukan beberapa latihan mental agar terbiasa dengan perubahan yang senantiasa menghampiri kita. Demikian halnya dengan saat kita membelajarkan IPA di SD. Barangkali semua juga sepakat bahwa kita sudah tahu berbagai jenis metode dan media sudah tersedia di lingkungan sekitar kita. Akan tetapi sikap laten yang mengandalkan penggunaan satu metode adalah layak sudah mendarah daging pada diri kita.
Permasalahan seperti diuraikan di atas adalah permasalahan umum dari kita para guru, berbagai pelatihan, workshop sudah kita lalui akan tetapi kita selalu saja menyalahkan siswa atas kegagalan mereka dalam melaksanakan evaluasi. Kita sangat jarang melakukan kegiatan merenung dan refleksi bahwa ada hal yang salah dengan kita. Sudah sangat banyak kita mengenal metode dan pendekatan dari CBSA hingga hingga Quantum Teaching (yang terbaru). Dan bahkan hal tersebut juga terlampau sering kita dengarkan. Sesungguhnya semua ber-esensi sama yaitu menempatkan siswa sebagai subyek pembelajaran. Yang belajar bukan guru, guru hanya sebagai fasilitator.
Permasalahan di atas adalah permasalahan umum, dan yang menjadi pertanyaan sekarang adalah :
1. Adakah suatu metode dan pendekatan yang dapat mewakili berbagai jenis metode dan pendekatan tersebut ? Sehingga guru tidak bingung memilih karna seolah-olah antar metode tersebut ada batasan padahal batasannya sangat kabur.
2. Seandainya ada bagaimanakah implementasinya di lapangan ?
3. Seandainya belum ada kemudian oleh penulis sendiri membuatnya menjadi ada, apakah kemudia di akui atau malah dikatakan mengada-ada ?
II. PEMBAHASAN
Sesuai dengan judul di atas “ Pembelajaran IPA Secara Holistik”, penulis mencoba ber-ide, mencoba untuk keluar dari konteks pembeicaraan pada modul yang sudah penulis baca yaitu tentang “Konstruktifisme dalam Pembelajaran IPA, Bekerja Ilmiah dalam IPA, Pendekatan Pembelajaran Sains (IPA) Teknologi dan Masyarakat/Lingkungan (STM). Dan penulis berkesimpulan bahwa intinya adalah sama yaitu menjadikan siswa sebagai subyek pembelajaran, memberdayakan siswa, membelajarkan siswa dan istilah kostruktif lainnya.
Pembelajaran yang bersifat menjadikan siswa sebagai subyek pembelajaran membawa situasi kelas dipenuhi oleh kegiatan dimana siswa adalah pelaku dari berbagai kegiatan baik eksperimen, demonstrasi, diskusi dan sebagainya. Memberdayakan siswa maksudnya adalah guru bertugas menggali seluruh potensi siswa tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, perbedaan tingkat IQ, dan perbedaan yang lainnya. Membelajarkan siswa adalah suatu kegiatan yang menempatkan siswa yang sedang belajar. Istilah konstruktif lainnya adalah CTL, CBSA, Quantum Teaching, dan beberapa nama keren lainnya. Padahal esensinya sama yaitu siswa adalah subyek pembelajaran.
Pembelajaran Holostik pada mata pelajaran IPA membawa guru pada suatu kondisi pembelajaran yang bersifat konstruktif. Maka yang dapat melakukan hal ini adalah guru yang berpandangan konstruktif. Siapa mereka ? Mereka yang sadar bahwa siswa akan belajar optimal jika semuanya berawal dari keinginan siswa untuk belajar. Sehingga kita akan mengkondisikan kelas sedemikian rupa agar siswa mau belajar. Bukan karna paksaan. Apakah hal ini mudah ? Tentu tidak karna kita berhadapan dengan puluhan kepala yang isi kognitif, afektif, psikomotor dan datang dari latar belakang yang beragam. Kita pasti sepakat bahwa mencari yang baik pasti sulit.
Pembelajaran IPA dengan pendekatan yang holistik sesungguhnya adalah positif yaitu guru tidak akan pernah terbebani dengan jenis dan batasan metode yang mesti dilakukan dan ditulis dalam RPP. Kita menyiapkan bahan, media dan masuk ke kalas dan melakukan apersepsi. Lihat kondisi kelas apakah sudah kondusif ? Kalau belum berikan motivasi dengan berbagai cara yang kreatif apakah itu cerita, permainan, menyanyi, diskusi dan tanyakan masalahnya apa. Disanalah gunanya pendekatan yaitu untuk mendekati siswa agar mau belajar. Caranya ya terserah guru itu sendiri. Lalu pertanyaannya bagaimana dengan alokasi waktu yang membatasi di RPP ? Abaikan dulu hal tersebut karna RPP itu adalah rencana, dimana kalau tidak tercapai adalah hal biasa karna kadang situasi kelas tidak sesuai dengan harapan.
Jika siswa sudah mau belajar lanjutkan dengan kegiatan yang mengedepankan siswa sebagai subyek yaitu dengan memberikan tugas. Tugas yang diberikan adalah yang bersifat konstruktif bukan memberi beberapa soal lalu guru meninggalkan kelas. Pada IPA dapat diberikan berupa sekumpilan tugas yang bersifat berkelanjutan seperti proyek. Langkahnya dari mereka merencanakan, melaksanakan hingga melaporkan. Misalnya siswa kita belajarkan tentang perkembangbiakan tumbuhan maka mereka akan merencanakan menyediakan bahan seperti bibit dan alat alat pertanian. Pelaksanaan dapat dilakukan di kebun sekolah. Setelah kegiatan selesai siswa ditugaskan untuk mengamati perkembangan dari tanaman setelah ditanam dan hasil pengamatannya dilaporkan kepada guru.
Dengan model seperti itu kita tidak dapat mengatakan kita melakukan pembelajaran dengan metode dan pendekatan tertentu akan tetapi menyeluruh sehingga penulis istilahkan sebagai pendekatan holistik. Semua materi pembelajaran IPA lainnya dapat mengadopsi pendekatan tersebut karna guru tidak lagi berfikir tentang batasan metode apa yang akan mereka gunakan akan tetapi mereka berfikir akan di apakan siswa kita. Guru dalam membelajarkan siswa tidak perlu mengingat batasan pengertian suatu metode akan tetapi cukup dengan mengingat bahwa siswa kita akan diapakan agar dapat belajar efektif.
Permasalahan sebenarnya adalah ada pada paham yang dianut guru tersebut. Apabila guru tersebut tidak berfikiran terbuka, behavioristik dan konservatif maka walaupun mereka mengenal istilah dan batasan berbagai metode maka yang terjadi adalah situasi pembelajaran yang dipaksakan karna guru dalam hal ini masih berkeingingan untuk dominan. Guru tidak berfikir apa yang akan siswa dapatkan jika pembelajarannnya seperti ini akan tetapi mereka akan berfikir bagaimana mengajar mereka agar mengerti. Sehingga jika siswa gagal dalam evaluasi yang disalahkan adalah siswa. Jika guru berfikir seperti yang pertama di atas maka guru akan berkata “Wah ada yang salah dengan saya”. Hal itulah yang membedakan guru yang berpaham behavioristik dengan guru yang menganut paham konstruktifistik.
Jalan keluar yang mungkin kita harus coba bersama untuk mengatasi masalah tersebut adalah :
1. Berfikirlah bahwa siswa adalah yang akan belajar.
2. Berfikirlah bahwa siswa dapat belajar jika mereka mau belajar
3. Berfikirlah bahwa siswa dapat belajar jika ada bahan yang akan dipelajari
4. Jika gagal lakukan refleksi
5. Belajar yang baik adalah bersama-sama karna akan saling isi mengisi
6. Berfikirlah bahwa guru bukan untuk ditakuti akan tetapi disegani
7. Hindari pemikiran guru selalu benar.
8. Jadikan siswa menjadi teman bukan murid.
9. Berdirilah disampingnya saat membimbing bukan berkacak pinggang di depannya.
10. Kalau guru kesal dan marah berikan arahan dan posisikan diri sejajar dengan siswa terlebih dahulu baru kemudian berikan pesan.
11. Kesimpulannya adalah jadilah guru yang manusiawi
Dengan menerapkan metode holistik apakah kemudian menjadi salah karna alasan tidak pernah ada dan didengar dalam konteks teori belajar yang sudah di akui. Kalau kita semua berfikir bahwa segala sesuatu terus berubah barangkali kita sepakat bahwa tidak ada salahnya kita memberi nama apa yang sudah kita lakukan dengan sarat semua itu tidak keluar dari esensi dan prinsip yang ada. Kita mungkin sudah pernah belajar tentang mata kuliah inovasi dan inovasi pendidikan. Maka apakah ada salahnya kalau kita berinovasi ?
Bebagai pendekatan dan metode yang sudah kita kenal sesungguhnya esensinya sama yaitu menjadikan siswa sebagai subyek pembelajaran. Akan teapi implementasi di lapangan yang sulit. Walaupun kita mengatakan diri sudah konstruktif akan tetapi sesungguhnya terkadang kita bertindak sebaliknya yaitu behavioristik. Dalam pelaksanaan pembelajaran kita hendaknya bertindak manusiawi.
Jika hal tersebut sudah dilaksanakan maka siswa akan termotivasi untuk belajar karna mereka dalam keadaan bebas dari tekanan apapun saat belajar. Hal tersebut akan berdampak pada meningkatnya kemauan siswa untuk belajar dan selanjutnya berakhir dengan hasil belajar yang memuaskan.
III. KESIMPULAN
Permasalahan pembelajaran IPA di SD sering dihadapakan pada pola pembelajaran yang behavioristik. Hal tersebut sesungguhnya disadari oleh guru akan tetapi sulit dirubah karna kita masih sering mengedepankan sikap ego. Kesulitan merubah kebiasaan tersebut masih kita rasakan termasuk penulis sendiri.
Bebagai pendekatan dan metode yang sudah kita kenal sesungguhnya esensinya sama yaitu menjadikan siswa sebagai subyek pembelajaran. Akan teapi implementasi di lapangan yang sulit. Walaupun kita mengatakan diri sudah konstruktif akan tetapi sesungguhnya terkadang kita bertindak sebaliknya yaitu behavioristik. Dalam pelaksanaan pembelajaran kita hendaknya bertindak manusiawi.
Jika hal tersebut dudah dilaksanakan maka siswa akan termotivasi untuk belajar karna mereka dalam keadaan bebas dari tekanan apapun saat belajar. Hal tersebut akan berdampak pada meningkatnya kemauan siswa untuk belajar dan selanjutnya berakhir dengan hasil belajar yang memuaskan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar