Senin, 02 Mei 2011

DOWNLOAD DRIVER


Tipe Motherboard
Resume Support: Yes
Download Speed Limit: 32 KB/s.
N945GZ
G41-m7
G41-m7 for Win7
P4M900-M7ver7.1
P4M900-M7ver7.1 for Win7
P4M900-M7ver7.0
P4M890
N-910GL-A
N-P4M800-B
N-P4M800-Pro C2D
N-865G-C
N-865G-C for Win7
NG31
NG31 for Win7
NGF7100P-M7
NGF7100P-M7 for Win7
N945GC-I
NGF7050NV
N890K
N890K for Win7
N-865GV

Antivirus

Salah satu indikator komputer anda terjangkit virus komputer akan menjadi lambat atau sering hang, sehingga mengganggu sekali ketika mau menggunakan komputer. Antivirus tersebut antara lain : avira antivirus, avg antivirus, avast antivirus, Silahkan anda download di bawah ini :
1. Avira Antivirus ( Free Version)
Download Kumpulan Antivirus Gratis Versi Terbaru  2010 (Free Antivirus)
http://www.free-av.com/en/trialpay_download/1/avira_antivir_personal__free_antivirus.html

2. Avg Antivirus ( Free Edition )
Download Kumpulan Antivirus Gratis Versi Terbaru  2010 (Free Antivirus)
http://free.avg.com/gb-en/download-avg-anti-virus-free

3. Avast Antivirus ( Home Edition )

Antivirus Khusus Menghilangkan Virus Dalam Flashdisk

http://www.avast.com/eng/download-avast-home.html



Smadav 2011 Rev 8.4 Mei 2011 akhirnya dirilis ke publik setelah disempurnakan dan dites selama sebulan lebih di lab Smadav. Revisi kali ini adalah revisi terbesar yang pernah dilakukan di Smadav. Bisa dikatakan ini adalah versi terbaik Smadav yang pernah ada. Sangat banyak penyempurnaan yang dilakukan, penyempurnaan utamanya adalah pada engine scanner, fitur karantina, proteksi registration key, penanganan error, dan masih banyak lagi. Untuk yang lebih lengkap silakan lihat di daftar paling bawah.

Smadav 2011 Rev. 8.4 : Pendeteksian khusus untuk beberapa virus shortcut terbaru (MSO-sys, fanny-bmp),penambahan database 40 virus baru, penyempurnaan deteksi semua varian virus shortcut, penambahan teknik heuristik, dsb.

Klik di bawah ini Untuk Mendapatkan/MenDownload Smadav Rev 8.4 terbaru Januari 2011

Download Smadav 8.4

Jika Muncul Adf.ly klik SKIP AD untuk mendonwload smadavnya
Untuk Key Smadav Pro 8.4 dan Cara Menghilangkan Blacklis Samadav silahkan baca DiSini (Key + Menghilangkan Blacklist Smadav


 

Sofwer Penting Buat Computer Kamu


Adab dalam menjalani hidup di dunia

1   Adab Tidur Abu Bakr Jabir al-Jazairi 5532
2   Adab Sifat-Sifat Fitrah Abu Bakr Jabir al-Jazairi 3919
3   Adab Berpakaian Abu Bakr Jabir al-Jazairi 10344
4   Adab Bepergian Abu Bakr Jabir al-Jazairi 4669
5   Adab Menghadiri Undangan Abu Bakr Jabir al-Jazairi 3124
6   Adab Memenuhi Undangan Abu Bakr Jabir al-Jazairi 2831
7   Adab Bertamu Abu Bakr Jabir al-Jazairi 4359
8   Adab Makan dan Minum Abu Bakr Jabir al-Jazairi 11614
9   Adab Duduk dan Ruang Pertemuan Abu Bakr Jabir al-Jazairi 4716
10   Adab Ukhuwah Abu Bakr Jabir al-Jazairi 3807
11   Adab terhadap Hewan Abu Bakr Jabir al-Jazairi 3144
12   Adab Terhadap Orang Kafir Abu Bakr Jabir al-Jazairi 4800
13   Adab terhadap Muslim lainnya dan Hak-Hak Muslim atas Diriniya Abu Bakr Jabir al-Jazairi 6577
14   Adab terhadap Tetangga Abu Bakr Jabir al-Jazairi 3890
15   Adab terhadap Sanak Kerabat Abu Bakr Jabir al-Jazairi 3307
16   Adab terhadap Suami-Istri Abu Bakr Jabir al-Jazairi 11471
17   Adab terhadap Saudara Abu Bakr Jabir al-Jazairi 3896
18   Adab terhadap Anak-anak Abu Bakr Jabir al-Jazairi 3828
19   Adab terhadap Orang Tua Abu Bakr Jabir al-Jazairi 5818
20   Adab terhadap Diri Sendiri Abu Bakr Jabir al-Jazairi 5678
21   Adab Terhadap Rasulullah Abu Bakr Jabir al-Jazairi 3703
22   Adab Terhadap Al-Qur'an Abu Bakr Jabir al-Jazairi 3843
23   Adab terhadap Allah Ta'ala Abu Bakr Jabir al-Jazairi 4077
24   Adab Niat Abu Bakr Jabir al-Jazairi 5536
.
Firman Allah Ta‘ala, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menjiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10).
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum, demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka), demikianlah Kami memberi balasan kepada orang orang yang zhalim. Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (Al-A’raaf: 40-42).
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shallih dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-‘Ashr: 1-3).
Sabda Rasulullah saw., “Semua dan kalian masuk surga, kecuali orang-orang yang tidak mau.” Para sahabat bertanya, “Siapa yang tidak mau masuk surga, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. bersada, “Barangsiapa taat kepadaku, ia masuk surga. Dan barangsiapa bermaksiat kepadaku, ia tidak mau (masuk surga).” (HR Bukhari).
“Semua manusia beramal, dan menjual dirinya memperbaiki dirinya, atau membinasakannya.” (HR Muslim).
Orang Muslim meyakini bahwa sesuatu yang bisa membersihkan dirinya, dan menyucikannya ialah iman yang baik, dan amal shalih. Ia juga meyakini, bahwa sesuatu yang mengotori dirinya, dan merusaknya ialah keburukan kekafiran dan kemaksiatan, berdasarkan dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta‘ala, “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada sebagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (Huud: 114).
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (Al-Muthaffifin: 14).
Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya jika seorang Mukmin mengerjakan dosa, maka ada noda hitam di hatinya. Jika ia bertaubat, berhenti (dari dosa tersebut), dan beristighfar, maka hatinya bersih. Jika dosanya bertambah, bertambah pula noda hitamnya, hingga menutupi hatinya.” (HR An-Nasai dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan shahih).
Noda hitam tersebut tidak lain adalah tutupan hati yang disebutkan Allah Ta‘ala dalam surat Al-Muthaffifin di atas.
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan tindaklanjutilah kesalahan dengan kebaikan niscaya kebaikan tersebut menghapus kesalahan tersebut, serta bergaulah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim).
Oleh karena itulah, orang Muslim tidak henti-hentinya membina dirinya, menyucikannya, dan membersihkannya. Sebab, ia orang yang paling layak membinanya, kemudian ia memperbaikinya dengan etika-etika yang membersihkannya, dan membersihkan kotoran-kotorannya. Ia menjauhkan diri dan apa saja yang mengotorinya, dan merusaknya seperti keyakinan-keyakinan yang rusak, ucapan-ucapan yang rusak, dan amal perbuatan yang rusak. Ia melawan dirinya siang malam, mengevaluasinya setiap saat, membawanya kepada perbuatan-perbuatan yang baik, mendorongnya kepada ketaatan, menjauhkannya dari segala keburukan dan kerusakan.
Dalam memperbaiki dirinya, membinanya, dan membersihkannya, orang Muslim menempuh jalan-jalan berikut:

Taubat
Yang dimaksud dengan taubat di sini ialah melepaskan diri dan semua dosa dan kemaksiatan, menyesali semua dosa-dosa masa lalunya. dan bertekat tidak kembali kepada dosa di sisa-sisa umurnya. Itu semua karena dalil-dalil berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian, dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At Tahrim: 8).
“Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung. (An-Nuur: 31).
“Hai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah, karena aku bertaubat dalam sehari sebanyak seratus kali.(HR Muslim).
“Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit dan barat, maka Allah menerima taubatnya.” (HR Muslim).
“Sesungguhnya Allah membuka Tangan-Nya dengan taubat bagi orang yang berbuat salah di malam hari hingga siang hari, dan bagi orang yang berbuat salah di siang hari hingga malam hari, hingga matahari terbit dari barat.” (HR Muslim).
“Allah lebih berbahagia dengan taubat (kembalinya) hamba-Nya daripada seseorang di tempat sepi dan rawan bahaya dengan hewan kendaraan yang memuat makanan dan minumannya, kemudian ia tidur. Ketika ia bangun, hewan kendaraannya hilang. Ia pun mencarinya hingga ia kehausan. Ia berkata, ‘Aku akan kembali ke tempatku semula, hingga aku mati.’ Kemudian ia letakkan kepalanya di atas lengannya untuk mati. Ketika ia bangun, temyata hewan kendaraannya ada di sisinya lengkap dengan makanan dan minumannya. Jadi, Allah lebih berbahagia dengan taubat (kembalinya) hamba yang Mukmin dan (kebahagiaan) orang tersebut dengan (kembalinya) hewan kendaraan dan bekalnya.” (Muttafaq Alaih).
Diriwayatkan, bahwa para malaikat rnengucapkan ucapan selamat kepada Nabi Adam atas taubatnya, karena Allah menerima taubatnya. (Al-Ghazali dalam Ihya'-nya).
Muraqabah
Maksudnya, orang Muslim mengkondisikan dirinya merasa diawasi Allah Ta ‘ala di setiap waktu kehidupan hingga akhir kehidupannya, bahwa Allah Ta‘ala melihatnya, mengetahui rahasia-rahasianya, memperhatikan semua amal perbuatannya, mengamatinya, dan mengamati apa saja yang dikerjakan oleh semua jiwa. Dengan cara seperti itu, diri orang Mukmin selalu merasakan keagungan Allah Ta ‘ala dan kesempumaan-Nya, tentram ketika ingat nama-Nya, merasakan ketentraman ketika taat kepada-Nya, ingin bertetanggaan dengan-Nya, datang menghadap kepada-Nya, dan berpaling dan selain-Nya.
Inilah yang dimaksudkan dengan Islamisasi wajah dalam firman Allah Ta’ala,
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?” (An-Nisa’: 125).
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dan orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya Ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (Luqman: 22).
Itulah intisari seruan Allah Ta’ala dalam firman-Nya, “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu maka takutlah kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 235).
Atau dalam firman-Nya, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur ‘an dan kalian tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu pada waktu kalian melakukannya.” (Yunus: 22).
Atau dalam sabda Rasulullah saw., “Sembahlah Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Muttafaq Alaih).
Jalan itulah yang dilalui para pendahulu kita dan para Salafush shalih. Mereka membawa diri mereka kepadanya hingga akhir hayat mereka, dan mereka berhasil mencapai derajat muqarra bin (hamba-hamba yang dekat dengan Allah). Bukti-bukti berikut bersaksi untuk mereka:
1. Ditanyakan kepada Al-Junaid, “Bagaimana kiat menahan pandangan?” Al-Junaid, “Yaitu pengetahuanmu, bahwa pandangan Dzat yang melihatmu itu lebih dahulu dan lebih cepat daripada penglihatanmu kepada sesuatu yang engkau lihat.”
2. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Hendaklah engkau merasa diawasi oleh Dzat yang mengetahui apa saja yang ada padamu. Hendaklah eng kau berharap kepada Dzat yang memenuhi (harapanmu). Dan hendaklah engkau takut kepada Dzat yang memiliki hukuman.”
3. Ibnu Al-Mubarak berkata kepada seseorang, “Hai si Fulan, hendaklah engkau merasa diawasi Allah.” Orang tersebut bertanya kepada Ibnu Al-Mubarak tentang apa yang dimaksud dengan pengawasan Allah, kemudian Ibnu Al-Mubarak menjawab, “Jadilah engkau seperti orang yang bisa melihat Allah selama-lamanya.”
4. Abdullah bin Dinar berkata, “Pada suatu hari, aku pergi ke Makkah bersama Umar bin Khaththab. Di salah satu jalan, kami berhenti untuk istirahat, tiba-tiba salah seorang penggembala turun kepada kami dari gunung. Umar bin Khaththab bertanya kepada penggem bala tersebut, ‘Hai penggembala, juallah seekor kambingmu kepada kami.’ Penggembala tersebut berkata, ‘Kambing-kambing ini bukan milikku, namun milik majikanku.’ Umar bin Khaththab berkata, ‘Katakan saja kepada majikanmu, bahwa kambingnya dimakan serigala.’ Penggembala yang budak tersebut berkata, ‘Kalau begitu, di mana Allah?’ Umar bin Khaththab menangis, kemudian ia pergi ke majikan penggembala tersebut, lalu membeli budak tersebut, dan memerdekakannya.”
5. Dikisahkan bahwa salah seorang shalih berjalan melewati orang-orang yang sedang melempar, sedang salab seorang dan mereka duduk menyendiri dari mereka. Orang shalih tersebut pergi kepada orang tersebut, dan ingin mengajaknya bicara, namun orang tersebut lebih dahulu berkata kepadanya, “Dzikir kepada Allah itu jauh lebih nikmat.” Orang shalih bertanya kepada orang tersebut, “Engkau sendirian di sini?” Orang tersebut menjawab, “Aku bersama Tuhanku dan dua malaikat.” Orang shalih bertanya kepada orang tersebut, “Siapa yang mendahului orang-orang tersebut?” Orang tersebut menjawab, “Yaitu orang-orang yang diampuni Allah.” Orang shalih bertanya kepada orang tersebut, “Di manakah jalan itu?” Orang tersebut membeni isyarat ke langit, kemudian ia berdiri dan pergi.
6. Dikisahkan bahwa ketika Zulaikha berduaan dengan Yusuf AS, ia pergi ke patung, kemudian menutupnya dengan kain. Nabi Yusuf AS bertanya, “Engkau ada apa? Engkau malu kepada pengawasan benda padat kepadamu, dan tidak malu kepada pengawasan Raja Teragung (Allah) kepadamu?”
Salah seorang shalih menyenandungkan syair,
Jika Anda menyendiri dengan zaman pada suatu hari,
Anda jangan katakan, ‘Aku telah menyendiri,’
Namun katakan, ‘Zaman mengawasiku.’
Sedetik pun Anda jangan beranggapan bahwa Allah lengah
Dan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang Anda rahasiakan.
Tidakkah Anda lihat, bahwa hari ini cepat berlalu
Dan bahwa hari esok sudah dekat bagi orang-orang yang menunggunya?
Muhasabah (Evaluasi)
Karena orang Muslim siang-malam bekerja untuk kebahagiaannya di akhirat, kemuliaan dari Allah Ta‘ala, keridhaan-Nya, dan karena dunia adalah tempat beramal, maka ia harus melihat ibadah-ibadah wajib seperti penglihatan pedagang kepada modal bisnisnya, ia melihat ibadah-ibadah sunnah seperti penglihatan pedagang terhadap keuntungan bisnisnya, dan melihat kemaksiatan dan dosa sebagai kerugian dalam dunia bisnis. Kemudian ia berduaan dengan dirinya sesaat di akhir harinya guna mengadakan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas amal perbuatannya sepanjang siang harinya.
Jika ia melihat dirinya kurang mengerjakan ibadah-ibadah wajib, ia mencela dirinya, dan memarahinya, kemudian memaksanya melaksanakan ibadah-ibadah wajib tersebut saat itu juga jika ibadah-ibadah wajib tersebut termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga, dan jika ibadah ibadah wajib tersebut tidak termasuk yang harus ditunaikan saat itu juga maka ia harus memperbanyak mengerjakan ibadah-ibadah sunnah.
Jika ia melihat dirinya kurang dalam mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, maka ia mengganti kekurangannya dan memaksa dirinya melakukannya. Jika ia melihat kerugian karena ia mengerjakan dosa, maka ia beristighfar, menyesalinya, bertaubat, dan mengerjakan amal shalih yang bisa memperbaiki apa yang telah dirusaknya.
Inilah yang dimaksud dengan muhasabah terhadap diri sendiri. Inilah salah satu cara perbaikan diri (jiwa), pembinaannya, penyuciannya, dan pembersihannya, berdasarkan dalil-dalil berikut:
1. Firman Allah Ta‘ala, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah di diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Hasyr: 18).
“Hendaklah setiap diri memperhatikan” adalah perintah untuk mengadakan muhasabah (evaluasi) terhadap diri atas apa yang diperbuatnya untuk menyongsong hari esok.
2. Firman Allah Ta‘ala, “Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (An-Nuur: 31).
3. Sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah, dan beristightighfar kepada-Nya sebanyak seratus kali dalam satu hari.” (Diriwayatkan Muslim).
4. Umar bin Khattab ra berkata, “Evaluasilah (hisablah) diri kalian, sebelum kalian dievaluasi.”
Yang semakna dengannya ialah hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dengan sanad yang baik dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda,
“Orang cerdas ialah yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedang orang lemah ialah orang yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya dan berkhayal kosong kepada Allah.”
5. Adalah Umar bin Khaththab ra, jika waktu malam telah tiba, ia memukul kedua kakinya dengan berkata kepada dirinya, “Apakah yang telah engkau kerjakan siang tadi?”
6. Adalah Thalhah r.a. jika disibukkan oleh perkebunannya hingga ia tidak bisa menghadiri shalat jama’ah, maka ia mengeluarkan sedekah untuk Allah Ta’ala dari perkebunannya. Ini tidak lain adalah muhasabah darinya terhadap dirinya, dan kemarahannya terhadap dirinya.
7. Dikisahkan bahwa Al-Ahnaf bin Qais mendekat ke lampu, kemudian ia meletakkan jari-jarinya di dalamnya hingga merasakan panasnya, sambil berkata, “Hai Al-Ahnaf, apa yang mendorongmu mengerjakan ini dan itu pada hari ini? Apa yang mendorongmu mengerjakan ini dan itu pada hari ini?”
8. Dikisahkan bahwa salah seorang dari orang-orang shalih berjihad, tiba-tiba terlihat olehnya seorang wanita, dan ia pun melihatnya, kemudian mengangkat tangannya, menampar matanya, dan mencukilnya, sambil berkata, “Sesungguhnya melihat kepada sesuatu yang merugikanmu.”
9. Salah seorang dari orang shalih berjalan melewati rumah, kemudian ia berkata, “Kapan rumah ini dibangun?” Usai berkata seperti itu, ia sadar, dan buru-buru berkata kepada dirinya, “Engkau menanyakan sesuatu yang tidak ada kaitan denganmu. Aku pasti menghukummu dengan berpuasa setahun.” Ia pun berpuasa selama setahun.
10. Dikisahkan bahwa salah seorang dari orang shalih pergi ke padang pasir yang panas, kemudian ia berguling-guling di atasnya, sambil berkata, “Diriku, rasakan ini dan Neraka Jahannam itu lebih panas dari panas padang pasir ini. Engkau busuk di malam hari dan pengangguran di siang hari.”
11. Salah seorang dari orang shalih menghadapkan penglihatannya ke atap rumah, tiba-tiba ia melihat seorang wanita, dan ia pun melihat kepadanya. Kemudian ia menghukum dirinya dengan tidak melihat ke langit selagi ia hidup.
Begitulah, para salafush shalih mengevaluasi diri mereka atas ketidakseriusannya, memarahinya atas kelalaiannya, mewajibkannya bertakwa, dan melarangnya mengikuti hawa nafsu, karena mengikuti firman Allah Ta’ala,
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dan keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).(An-Nazi’ at: 40-41).
Mujahadah (Perjuangan)
Orang Muslim mengetahui bahwa musuh besarnya ialah hawa nafsu yang ada dalam dirinya, bahwa watak hawa nafsu adalah condong kepada keburukan, lari dari kebaikan, dan memerintahkan kepada keburukan seperti dikatakan Zulaikha dalam Al-Qur’an,
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.(Yusuf: 53).
Selain itu, watak hawa nafsu ialah senang malas-malasan, santai, dan menganggur, serta larut dalam syahwat, kendati di dalamnya terdapat kecelakaan dan kebinasaannya.
Jika orang Muslim mengetahui itu semua, maka ia memobilisasi diri untuk berjuang melawan hawa nafsunya, mengumumkan perang, mengangkat senjata untuk melawannya, dan bertekat mengatasi seluruh perjuangannya melawan hawa nafsu, dan menantang syahwatnya. Jika hawa nafsunya menyukai kehidupan santai, maka ia membuatnya lelah. Jika hawa nafsunya menginginkan syahwat, maka ia melarangnya. Jika dirinya tidak serius dalam ketaatan dan kebaikan, maka ia menghukumnya dan memarahinya, kemudian ia mewajibkannya mengerjakan apa yang tidak ia kerjakan dengan serius, dan mengganti apa yang ia sia-siakan dan ia tinggalkan. Ia bawa dirinya ke dalam pembinaan seperti itu hingga dirinya menjadi tentram, bersih, dan menjadi baik. Itulah tujuan utama mujahadah (perjuangan) terhadap hawa nafsu (diri).
Allah Ta‘ala berfirman, “Dan orang-orang yang berjihacl untuk (mencari keria’haan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ankabut: 69).
Ketika orang Muslim berjuang melawan dirinya agar menjadi baik, bersih, suci, tentram, berhak mendapatkan kemuliaan Allah Ta‘ala, dan keridhaan-Nya, maka ia mengetahui bahwa ini adalah jalan orang-orang shalih dan orang-orang yang jujur, kemudian ia berjalan di atas jalan tersebut karena ingin meniru mereka dan menapaktilasi jejak-jejak mereka. Rasulullah saw. saja melakukan qiyamul lail hingga kedua kakinya bengkak. Tentang hal tersebut, Rasulullah saw. pernah ditanya, kemudian beliau menjawab, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” (Diriwayatkan Muslim).
Adakah mujahadah yang lebih tinggi dari mujahadah Rasulullah saw. di atas? Demi Allah, tidak ada.
Ali bin Abu Thalib ra tentang sahabat-sahabat Rasulullah saw., “Demi Allah, aku melihat Rasulullah saw. dan aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan mereka. Pada pagi hari, rambut mereka kusut, berdebu, dan pucat, karena tidak tidur semalam suntuk untuk sujud, dan berdiri shalat, membaca Kitabullah, dan istirahat di antara kaki mereka dengan kening mereka. Jika mereka dzikir kepada Allah, mereka bergoyang sebagaimana pohon bergoyang ketika tertiup angin. Mata mereka bercucuran dengan airmata hingga pakaian mereka basah kuyup.”
Abu Ad-Darda’ ra “Tanpa tiga hal, aku tidak tertarik hidup, meskipun sehari saja, yaitu haus untuk Allah di siang hari yang panas, sujud untuk-Nya di pertengahan malam, dan duduk dengan orang-orang yang memilih ucapan-ucapan yang bagus, sebagaimana buah-buahan yang bagus dipilih.”
Umar bin Khaththab ra memarahi dirinya karena’ ia ketinggalan shalat Ashar berjama’ah, kemudian bersedekah dengan area tanahnya yang harganya kira-kira dua ratus dirham.
Jika Abdullah bin Umar ra ketinggalan shalat jama’ah, ia menghidupkan (tidak tidur untuk ibadah) malam harinya. Pada suatu hari, ia menunda shalat Maghrib hingga dua bintang terbit, kemudian ia memerdekakan dua budaknya.
Ali bin Abu Thalib ra berkata, “Semoga Allah merahmati orang-orang yang dikira manusia sakit, padahal mereka tidak sakit.” Itu tidak lain adalah pengaruh mujahadah mereka terhadap dirinya.
Rasulullah saw. bersabda, “Manusia terbaik ialah orang yang panjang umurnya, dan baik amal perbuatannya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia meng-hasan-kannya).
Uwais Al-Qarni Rahimahullah berkata, “Malam mi adalah malam ruku’.” Kemudian ia hidupkan seluruh malam tersebut dengan ruku’. Pada malam berikutnya, ia berkata, “Malam ini adalah malam sujud.” Ia pun menghidupkan seluruh malam tersebut dengan sujud.
Tsabit Al-Bunani Rahimahullah berkata, “Aku perah bertemu dengan orang-orang di mana salah seorang dari mereka shalat, kemudian ia tidak bisa pergi ke tempat tidurnya kecuali dengan merangkak. Salah seorang dan mereka qiyamul lail hingga kedua kakinya bengkak karena terlalu lama berdiri. Keseriusan mereka dalam ibadah sampai pada tarap jika dikatakan kepada mereka bahwa kiamat akan terjadi besok, maka mereka tidak akan menambah ibadahnya. Jika musim dingin tiba, ia berdiri di atap rumah agar ia diterpa hawa dingin sehingga tidak bisa tidur. Jika musim panas tiba, maka ia berdiri di bawah atap rumah, agar panas matahari membuatnya tidak bisa tidur. Salah seorang dan mereka meninggal dunia dalam keadaan sujud.”
Istri Masruq Rahimahullah berkata, “Masruq tidak ditemui, kecuali kedua betisnya bengkak karena saking lamanya qiyamul lail. Demi Allah, pada suatu kesempatan, saya berdiri di belakangnya ketika ia berdiri qiyam ullail, kemudian aku menangis karena iba terhadapnya.”
Jika salah seorang dan salafush shalih telah berumur empat puluh tahun, maka ia melipat kasurnya, dan tidak pernah lagi tidur di atasnya.
Dikisahkan bahwa salah seorang istri dan para salafsuh shalih yang bernama Ajrah yang telah buta berdoa dengan suara yang memilukan jika waktu sahur telah tiba, “Ya Allah, kepada-Mu orang-orang ahli ibadah mengarungi kegelapan malam untuk berlomba kepada rahmat-Mu, dan karunia ampunan-Mu. Ya Allah, dengan-Mu, aku meminta kepada-Mu, dan tidak kepada selain-Mu, hendaknya Engkau menjadikanku orang terdepan di rombongan orang-orang as-sabiqun (orang-orang yang cepat kepada kebaikan), mengangkat-Ku di sisi-Mu di 'illiyyin di derajat makhluk-makhluk yang didekatkan kepada-Mu, dan menyusulkan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih. Engkau Dzat yang paling penyayang, Dzat yang paling agung dan Dzat yang paling mulia, wahai Dzat yang paling mulia.” Usai berdoa seperti itu, ia sujud. Ia tidak henti-hentinya berdoa, dan menangis hingga waktu shalat Shubuh tiba.
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 121-131.

adab suami istri

Orang Muslim meyakini adanya etika timbal balik antara suami dan istri, dan etika tersebut adalah hak atas pasangannya yang lain berdasarkan dalil-dalil berikut, 
Firman Allah Ta ‘ala, "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari isterinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana." (Al-Baqarah: 228).
Ayat yang mulia di atas menegaskan, bahwa setiap suami-istri mempunyai hak atas pasangannya, dan suami (laki-laki) diberi tambahan derajat atas wanita (istri) karena alasan-alasan khusus.
Sabda Rasulullah saw. di Haji Wada', "Ketahuilah, bahwa kalian mempunyai hak-hak atas wanita-wanita (istri-istri) kalian, dan sesungguhnya wanita-wanita (istri-istri) kalian mempunyai hak-hak atas kalian." (Diriwayatkan para pemilik Sunan dan At-Tirmidzi men-shahih-kan hadits ini).
Hak-hak ini, sebagian sama di antara suami-istri dan sebagiannya tidak sama. Hak-hak yang sama di antara suarni-istri adalah sebagian berikut:
1.   Amanah
Masing-masing suami-istri harus bersikap amanah terhadap pasangannya, dan tidak mengkhianatinya sedikit atau banyak, karena suami istri adalah laksana dua mitra di mana pada keduanya harus ada sifat amanah, saling menasihati, jujur, dan ikhlas dalam semua urusan pribadi keduanya, dan urusan umum keduanya.
2.   Cinta kasih
Artinya, masing-masing suami-istri harus memberikan cinta kasih yang tulus kepada pasangannya sepanjang hidupnya karena firman Allah Ta‘ala,
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (Ar-Ruum: 21).
Dan karena sabda Rasulullah saw., "Barangsiapa tidak menyayangi ia tidak akan disayangi." (HR Ath-Thabrani dengan sanad yang baik).
3.   Saling percaya
Artinya masing-masing suami-istri harus mempercayai pasangannya, dan tidak boleh meragukan kejujurannya, nasihatnya, dan keikhlasannya, karena firman Allah Ta‘ala, "Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara." (Al Hujurat: 10).
Dan karena sabda Rasulullah saw., "Salah seorang dan kalian tidak beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (HR Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
Ikatan suami-istri itu memperkuat, dan mengokohkan ikatan (ukhuwwah) iman.
Dengan cara seperti itu, masing-masing suami-istri merasa, bahwa dirinya adalah pribadi pasangannya. Oleh karena itu, bagaimana ia tidak mempercayai dirinya sendiri, dan tidak menasihatinya? Atau bagaimana seseorang itu kok menipu dirinya sendiri, dan memperdayainya?
4.  Etika umum, seperti lemah lembut dalam pergaulan sehari-hari, wajah yang berseri-seri, ucapan yang baik, penghargaan, dan penghormatan. Itulah pergaulan baik yang diperintahkan Allah Ta‘ala dalam firman-Nya, "Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik." (An-Nisa': 19).
Itulah perlakuan baik yang diperintahkan Rasulullah saw. dalam sabdanya, "Perlakukan wanita dengan baik." (HR Muslim).
Inilah sebagian hak-hak bersama antar suami-istri, dan masing-masing dan keduanya harus memberikan hak-hak tersebut kepada pasangannya untuk merealisir perjanjian kuat yang diisyaratkan firman Allah Ta‘ala, "Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kalian penjanjian yang kuat." (An-Nisa': 21).
Dan karena taat kepada Allah Ta‘ala yang berfirman, "Dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian, Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kalian kerjakan." (A1-Baqarah: 237).
Adapun hak-hak khusus, dan etika-etika yang harus dikerjakan masing-masing suami-istri terhadap pasangannya adalah sebagai berikut:
Hak-hak Istri atas Suami
Terhadap istrinya, seorang suami harus menjalankan etika-etika berikut ini:
1.  Memperlakukannya dengan baik karena dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta‘ala, "Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik." (An-Nisa': 19).
Ia memberi istrinya makan jika ia makan, memberinya pakaian jika ia berpakaian, dan mendidiknya jika ia khawatir istrinya membangkang seperti diperintahkan Allah Ta‘ala kepadanya dengan menasihatinya tanpa mencaci-maki atau menjelek-jelekkannya. Jika istri tidak taat kepadanya, ia pisah ranjang dengannya. Jika istri tetap tidak taat, ia berhak memukul dengan pukulan yang tidak melukainya, tidak mengucurkan darah, tidak meninggalkan luka, dan membuat salah satu organ tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya, karena firman Allah Ta‘ala,
"Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya (pembangkangannya), maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka." (An-Nisa': 34).
Sabda Rasulullah saw. kepada orang yang bertanya kepada beliau tentang hak istri atas dirinya, "Hendaknya engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekkannya, dan tidak mendiamkannya kecuali di dalam rumah." (HR Abu Daud dengan sanad yang baik).
Sabda Rasulullah saw., "Ketahuilah bahwa hak-hak wanita-wanita atas kalian ialah hendaknya kalian berbuat baik kepada mereka dengan memberi mereka makan dan pakaian."
Sabda Rasulullah saw., "Laki-laki Mukmin tidak boleh membenci wanita Mukminah. Jika ia membenci sesuatu pada pisiknya, ia menyenangi lainnya." (HR Muslim dan Ahmad).
2.  Mengajarkan persoalan-persoalan yang urgen dalam agama kepada istri jika belum mengetahuinya, atau mengizinkannya menghadiri forum-forum ilmiah untuk belajar di dalamnya. Sebab, kebutuhan untuk memperbaiki kualitas agama, dan menyucikan jiwanya itu tidak lebih sedikit dan kebutuhannya terhadap makanan, dan minuman yang wajib diberikan kepadanya. Itu semua berdasarkan dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta‘ala, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).
Wanita termasuk bagian dan keluarga laki-laki, dan penjagaan dirinya dan api neraka ialah dengan iman, dan amal shalih. Amal shalih harus berdasarkan ilmu, dan pengetahuan sehingga ia bisa mengerjakannya seperti yang diperintahkan syariat.
Sabda Rasulullah saw., "Ketahuilah, hendaklah kalian memperlakukan wanita-wanita dengan baik, karena mereka adalah ibarat tawanan-tawanan pada kalian." (Muttafaq Alaih).
Di antara perlakuan yang baik terhadap istri ialah mengajarkan sesuatu yang bisa memperbaiki kualitas agamanya, menjamin bisa istiqamah (konsisten) dan urusannya menjadi baik.
3.  Mewajibkan istri melaksanakan ajaran-ajaran Islam beserta etika-etikanya, melarangnya buka aurat dan berhubungan bebas (ikhtilath) dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, memberikan perlindungan yang memadai kepadanya dengan tidak mengizinkannya merusak akhlak atau agamanya, dan tidak membuka kesempatan baginya untuk menjadi wanita fasik terhadap perintah Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya, atau berbuat dosa, sebab ia adalah penanggung jawab tentang istrinya dan diperintahkan menjaganya, dan mengayominya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala, "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita." (An-Nisa' 34).
Dan berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Seorang suami adalah pemimpin di rumahnya, dan ia akan diminta pertanggungan jawab tentang kepemimpinannya." (Muttafaq Alaih).
4.  Berlaku adil terhadap istrinya dan terhadap istri-istrinya yang lain, jika ia mempunyai istri lebih dan satu. Ia berbuat adil terhadap mereka dalam makanan, minuman, pakaian, rumah, dan tidur di ranjang. Ia tidak boleh bersikap curang dalam hal-hal tersebut, atau bertindak zhalim, karena ini diharamkan Allah Ta‘ala dalam firman-Nya, "Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah) seorang saja, atau budak-budak wanita yang kalian miliki." (An-Nisa': 3).
Rasulullah saw. mewasiatkan perlakuan yang baik terhadap istri-istri dalam sabdanya, "Orang terbaik dan kalian ialah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku orang terbaik dan kalian terhadap keluarganya." (HR Ath-Thabrani dengan sanad yang baik).
5.  Tidak membuka rahasia istrinya dan tidak membeberkan aibnya, sebab ia orang yang diberi kepercayaan terhadapnya, dituntut menjaga, dan melindunginya.
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah ialah suami yang menggauli istrinya, dan istrinya bergaul dengannya, kemudian ia membeberkan rahasia hubungan suami-istri tersebut." (Diriwayatkan Muslim).
Hak-hak Suami atas Istri
Terhadap suaminya, seorang istri harus menjalankan etika-etika berikut ini:
1.  Taat kepadanya selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Th ‘ala, karena dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta‘ala, "Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka." (An-Nisa': 34).
Sabda Rasulullah saw., "Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, kemudian istrinya tidak datang kepadanya, dan suaminya pun marah kepadanya pada malam itu, maka istrinya dilaknat para malaikat hingga pagi harinya." (Muttafaq Alaih).
"Seandainya aku suruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku suruh seorang istri sujud kepada suaminya." (HR Abu Daud dan Al-Hakim. At-Tirmidzi meng-shahih-kan hadits mi).
2.  Menjaga kehormatan suaminya, kemuliaanya, hartanya, anak-anaknya, dan urusan rumah tangga lainnya, karena dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta'ala, "Maka wanita-wanita yang shalihah ialah wanita-wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)." (An-Nisa': 34).
Sabda Rasulullah saw., "Seoranq istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan anaknya." (Muttafaq Alaih).
Sabda Rasulullah saw., "Maka hak kalian atas istri-istri kalian ialah hendaknya orang-orang yang kalian benci tidak boleh menginjak ranjang-ranjang kalian, dan mereka tidak boleh memberi izin masuk ke rumah kepada orang orang yang tidak kalian sukai." (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
3.  Tetap berada di rumah suami, dalam arti, tidak keluar kecuali atas izin dan keridhaannya, menahan pandangan dan merendahkan suaranya, menjaga tangannya dari kejahatan, dan menjaga mulutnya dari perkataan kotor yang bisa melukai kedua orang tua suaminya, atau sanak keluarganya, karena dalil-dalil berikut:
Firman Allah Ta‘ala, "Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu." (Al-Ahzab: 33).
"Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya." (Al-Ahzab: 32).
"Allah tidak menyukai ucapan buruk." (An-Nisa': 148).
"Katakanlah kepada wanita-wanita beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya'." (An-Nuur: 31).
Sabda Rasulullah saw., "Wanita (istri) terbaik ialah jika engkau melihat kepadanya, ia menyenangkanmu. Jika engkau menyuruhnya, ia taat kepadamu. Jika engkau pergi darinya, ia menjagamu dengan menjaga dirinya dan menjaga hartamu." (HR Muslim dan Ahmad).
Sabda Rasulullah saw., "Kalian jangan melarang wanita-wanita hamba-hamba Allah untuk pergi ke masjid-masjid Allah. Jika istri salah seorang dari kalian meminta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid, engkau jangan melarangnya." (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan At Tirmidzi).
Sabda Rasulullah saw., "Izinkan wanita-wanita pergi ke masjid pada malam hari."
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 138-145.